TIDAK ada yang lebih menakjubkan dari Liga Primer Indonesia (LPI). Sebab di LPI, orang bisa bermimpi. Dan mimpi itu, entah dengan rahasia apa, bisa terwujud.
Ibarat sihir, LPI mampu melakukan hal-hal mustahil. Setidaknya untuk ukuran Indonesia, sebuah dunia ketiga. Salah satunya, meruntuhkan rezim Nurdin Halid. Tetapi sungguh, kasus Nurdin hanyalah sebagian kecil dari sihir LPI. Ada banyak sihir lain yang tersajikan.
Lihat saja, dalam tempo tidak lebih dari 3 bulan, LPI mengkondisikan berdirinya 16 klub baru. Semuanya profesional. Semuanya berpotensi membesar. Jika ditelusuri lebih ke dalam, taruhlah dua klub terbawah LPI saat ini, Cendrawasih Papua dan Bandung FC. Keduanya diasuh pelatih bagus, kedua punya pemain-pemain muda potensial, keduanya memiliki pemain bintang, keduanya juga memperagakan permainan atraktif. Belum lagi klub papan tengah dan papan atas. Sulit dipercaya, klub-klub itu ibarat bayi, berdiri saja masih belum waktunya.
Padahal, ketika klub terbentuk, kompetisi Indonesia Super League telah bergulir. Itu artinya, pemain profesional di tanah air, khususnya yang bertalenta tinggi, semuanya telah terikat kontrak. Tetapi, sekali lagi, itulah sihirnya, klub LPI tidak kekurangan pemain. Melalui kinerja yang sistematis, konsorsium LPI mampu menyihir setiap klub menjadi kompetitif. Bahkan pemain sekelas Lee Hendrie pun tergoda untuk bergabung.
Sejak mula digagas, banyak kalangan memang sudah optimistis dengan konsep LPI. Utamanya awak media massa. Namun, tidak sedikit yang mencibir. Utamanya dari orang-orang yang mendiami otoritas tertinggi sepakbola Indonesia (PSSI). Bisa dimaklumi, posisi mereka bisa terusik. Dan memang, konsorsium LPI memang tidak mau nunduk-nunduk mendatangi pengurus PSSI. Mereka cenderung memasang badan tegap dan kepala tegak. Bisa dibilang, LPI menantang PSSI. Dan tantangan itu diterima. LPI dihujat PSSI. Sebaliknya, LPI menghujat PSSI.
Beruntung bagi LPI, suporter (publik) berada di pihak mereka. Memang, tanpa dimobilisasi pun, masyarakat sudah kecewa dengah PSSI. Tentu saja, utamanya, pada Daeng Nurdin Halid. Mantan manajer PSM Makassar yang pernah memimpin PSSI dari balik penjara. Seorang argumentator ulung yang pernah ditampar anak buah Baharudin Lopa akibat tak mau disuruh berhenti bicara.
Nurdin memang fenomenal. Tetapi berhadapan dengan LPI, dia seperti kena sihir. Lihat saja, bersama PSSI yang dicintainya, Nurdin bolak balik memberi sanksi pada LPI. Misalkan makan, LPI amat kekenyangan karena terus terusan dijejali sembarang menu (baca: sanksi). Alih alih efektif, sanksi Nurdin justru membalik arah. Secara legal, sanksi berhasil dimentahkan. Secara opini, sanksi justru membuat publik bola kian malas dengan Nurdin Halid. Sebaliknya LPI semakin berlumuran dengan simpati dan empati.
Tahap per tahap LPI menghadapi hadangan PSSI juga mirip sihir. Soal izin laga, semisal, dalam hitungan jam, Mabes Polri dibikin berubah pandangan. Semula mendukung LPI. Lantas meminta persetujuan PSSI untuk pengeluaran izin. Nah perubahan itu terjadi tanggal 4 Januari 2011. Empat hari jelang pembukaan LPI di Solo. Siapapun yang melek bola pasti tahu, PSSI tidak bakal mengeluarkan rekomendasi bagi bergulirnya LPI. Saat itu, beberapa pemberitaan di media massa mulai ragu. Pesimistis LPI mampu digelar. Dan jika benar gagal digelar atau setidaknya harus ditunda, ratusan pemain dan pengurus dari 19 klub tentu stres. Mereka terlanjur latihan dan berharap. Tiga di antara mereka terlanjur keluar dari ISL. Khusus Persebaya 1927, klub kebanggaan masyarakat Surabaya, entah harus disembunyikan di mana mukanya. Sebab Persebayalah klub pertama yang mendukung terbentuknya LPI. Tetapi, begitulah, sihir LPI bekerja. Tiba-tiba, dua hari berselang, muncul sebuah organisasi bernama Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI). Padahal sebelumnya, walau berdiri sejak tahun 2004, lembaga ini nyaris tak dikenal oleh publik bola.
Pada saat yang genting, seperti sudah ditakdirkan, Menpora Andi Mallarangeng berpidato. Intinya, Menpora mengakui bahwa LPI merupakan ajang olahraga profesional. Dikelola secara profesional, pemainnya dikontra secara profesional, dan pendanaannya tidak pakai anggaran negara. Maka, LPI diatur oleh BOPI, sebuah induk olahraga profesional di bawah Kementrian Pemuda dan Olahraga.
Di samping Menpora, Ketua BOPI berdiri dengan sedikit senyum tersungging. Dengan mantap, dia menyatakan, BOPI melegalkan kompetisi LPI. Dan karenanya, Mabes Polri tidak perlu ragu untuk mengeluarkan izin pertandingan.
Menyaksikan drama itu, publik bola terkesima. Para pendukung LPI lantas bersorak kegirangan.
Tetapi ada yang lebih terpana. Ia adalah kubu Nurdin Cs. Sejenak setelah terpana, birokrasi gaya PSSI kembali bekerja. Mereka yang sejak saat itu rajin berkirim email ke FIFA mendapat kartu truf. FIFA tidak mengakui LPI. FIFA memerintahkan PSSI menyelesaikan kasus LPI dan jika tak terselesaikan justru PSSI yang dikenai sanksi. Empat bulan kemudian, yakni bulan April ini, kebijakan FIFA diefektifkan. Mandat Nurdin dan Nugraha Besoes (untuk menggelar kongres dan menyelesaikan kasus LPI) dicabut FIFA. Padahal beberapa minggu sebelumnya, Pemerintah RI sudah tidak mengakui keduanya sebagai petinggi PSSI.
Ini kali LPI memukul telak PSSI. LPI memang butuh pengakuan PSSI. Hanya saja, dengan catatan pula, pengakuan bukan dari PSSI-nya Nurdin. Tetapi, PSSI kepengurusan baru yang tidak diketuai oleh Nurdin, juga bukan oleh orang dari kubu Nurdin.
Yah, LPI memang sangat percaya diri. Terlalu yakin memang, bahwa kubu Nurdin akan ambrol dan berganti dengan kubu yang mendukung LPI. Dan entah dengan tenaga sihir apa, keyakinan LPI, kian mendekati realitas.
Ok, sihir LPI terbukti ampuh. Dan anggaplah kompetisi LPI terus bergulir. Tentu saja dengan menyandang legalitas dari PSSI dan FIFA dan pemainnya bebas keluar masuk timnas Indonesia. Persoalannya sekarang, mampukah LPI mempersembahkan prestasi bagi Negara Indonesia. Waktu yang akan menjawabnya.
Kita semua tentu paham, perjalanan kompetisi dan pembinaan tidak bisa disandarkan pada sulap atau sihir. Nurdin pernah melakukan jurus sihir dalam Piala AFF 2010. Berkat sihir Nurdin, ada Irfan Bachdim dan El Loco di timnas. Dengan cukup aneh, Filipina meminta 2 laga digelar di Stadion Gelora Bung Karno. Padahal secara matematis, penyerahan itu sama artinya mempersilakan Okto dkk langsung masuk final. Tetapi, sekali lagi, prestasi tak bisa datang di pagi hari dengan diusung oleh kendaraan sihir. Faktanya, Indonesia kalah karena diganyang Malaysia.
Sama seperti LPI. Selama ini, program LPI hampir selalu terealisasi. Tapi, dengan begitu, bukan berarti LPI telah berprestasi. Kompetisi LPI masih harus diuji oleh waktu. Sebab sepanjang musim kompetisi yang berlarat larat, setumpuk soal selalu inhern di dalamnya.
Ibarat sihir, LPI mampu melakukan hal-hal mustahil. Setidaknya untuk ukuran Indonesia, sebuah dunia ketiga. Salah satunya, meruntuhkan rezim Nurdin Halid. Tetapi sungguh, kasus Nurdin hanyalah sebagian kecil dari sihir LPI. Ada banyak sihir lain yang tersajikan.
Lihat saja, dalam tempo tidak lebih dari 3 bulan, LPI mengkondisikan berdirinya 16 klub baru. Semuanya profesional. Semuanya berpotensi membesar. Jika ditelusuri lebih ke dalam, taruhlah dua klub terbawah LPI saat ini, Cendrawasih Papua dan Bandung FC. Keduanya diasuh pelatih bagus, kedua punya pemain-pemain muda potensial, keduanya memiliki pemain bintang, keduanya juga memperagakan permainan atraktif. Belum lagi klub papan tengah dan papan atas. Sulit dipercaya, klub-klub itu ibarat bayi, berdiri saja masih belum waktunya.
Padahal, ketika klub terbentuk, kompetisi Indonesia Super League telah bergulir. Itu artinya, pemain profesional di tanah air, khususnya yang bertalenta tinggi, semuanya telah terikat kontrak. Tetapi, sekali lagi, itulah sihirnya, klub LPI tidak kekurangan pemain. Melalui kinerja yang sistematis, konsorsium LPI mampu menyihir setiap klub menjadi kompetitif. Bahkan pemain sekelas Lee Hendrie pun tergoda untuk bergabung.
Sejak mula digagas, banyak kalangan memang sudah optimistis dengan konsep LPI. Utamanya awak media massa. Namun, tidak sedikit yang mencibir. Utamanya dari orang-orang yang mendiami otoritas tertinggi sepakbola Indonesia (PSSI). Bisa dimaklumi, posisi mereka bisa terusik. Dan memang, konsorsium LPI memang tidak mau nunduk-nunduk mendatangi pengurus PSSI. Mereka cenderung memasang badan tegap dan kepala tegak. Bisa dibilang, LPI menantang PSSI. Dan tantangan itu diterima. LPI dihujat PSSI. Sebaliknya, LPI menghujat PSSI.
Beruntung bagi LPI, suporter (publik) berada di pihak mereka. Memang, tanpa dimobilisasi pun, masyarakat sudah kecewa dengah PSSI. Tentu saja, utamanya, pada Daeng Nurdin Halid. Mantan manajer PSM Makassar yang pernah memimpin PSSI dari balik penjara. Seorang argumentator ulung yang pernah ditampar anak buah Baharudin Lopa akibat tak mau disuruh berhenti bicara.
Nurdin memang fenomenal. Tetapi berhadapan dengan LPI, dia seperti kena sihir. Lihat saja, bersama PSSI yang dicintainya, Nurdin bolak balik memberi sanksi pada LPI. Misalkan makan, LPI amat kekenyangan karena terus terusan dijejali sembarang menu (baca: sanksi). Alih alih efektif, sanksi Nurdin justru membalik arah. Secara legal, sanksi berhasil dimentahkan. Secara opini, sanksi justru membuat publik bola kian malas dengan Nurdin Halid. Sebaliknya LPI semakin berlumuran dengan simpati dan empati.
Tahap per tahap LPI menghadapi hadangan PSSI juga mirip sihir. Soal izin laga, semisal, dalam hitungan jam, Mabes Polri dibikin berubah pandangan. Semula mendukung LPI. Lantas meminta persetujuan PSSI untuk pengeluaran izin. Nah perubahan itu terjadi tanggal 4 Januari 2011. Empat hari jelang pembukaan LPI di Solo. Siapapun yang melek bola pasti tahu, PSSI tidak bakal mengeluarkan rekomendasi bagi bergulirnya LPI. Saat itu, beberapa pemberitaan di media massa mulai ragu. Pesimistis LPI mampu digelar. Dan jika benar gagal digelar atau setidaknya harus ditunda, ratusan pemain dan pengurus dari 19 klub tentu stres. Mereka terlanjur latihan dan berharap. Tiga di antara mereka terlanjur keluar dari ISL. Khusus Persebaya 1927, klub kebanggaan masyarakat Surabaya, entah harus disembunyikan di mana mukanya. Sebab Persebayalah klub pertama yang mendukung terbentuknya LPI. Tetapi, begitulah, sihir LPI bekerja. Tiba-tiba, dua hari berselang, muncul sebuah organisasi bernama Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI). Padahal sebelumnya, walau berdiri sejak tahun 2004, lembaga ini nyaris tak dikenal oleh publik bola.
Pada saat yang genting, seperti sudah ditakdirkan, Menpora Andi Mallarangeng berpidato. Intinya, Menpora mengakui bahwa LPI merupakan ajang olahraga profesional. Dikelola secara profesional, pemainnya dikontra secara profesional, dan pendanaannya tidak pakai anggaran negara. Maka, LPI diatur oleh BOPI, sebuah induk olahraga profesional di bawah Kementrian Pemuda dan Olahraga.
Di samping Menpora, Ketua BOPI berdiri dengan sedikit senyum tersungging. Dengan mantap, dia menyatakan, BOPI melegalkan kompetisi LPI. Dan karenanya, Mabes Polri tidak perlu ragu untuk mengeluarkan izin pertandingan.
Menyaksikan drama itu, publik bola terkesima. Para pendukung LPI lantas bersorak kegirangan.
Tetapi ada yang lebih terpana. Ia adalah kubu Nurdin Cs. Sejenak setelah terpana, birokrasi gaya PSSI kembali bekerja. Mereka yang sejak saat itu rajin berkirim email ke FIFA mendapat kartu truf. FIFA tidak mengakui LPI. FIFA memerintahkan PSSI menyelesaikan kasus LPI dan jika tak terselesaikan justru PSSI yang dikenai sanksi. Empat bulan kemudian, yakni bulan April ini, kebijakan FIFA diefektifkan. Mandat Nurdin dan Nugraha Besoes (untuk menggelar kongres dan menyelesaikan kasus LPI) dicabut FIFA. Padahal beberapa minggu sebelumnya, Pemerintah RI sudah tidak mengakui keduanya sebagai petinggi PSSI.
Ini kali LPI memukul telak PSSI. LPI memang butuh pengakuan PSSI. Hanya saja, dengan catatan pula, pengakuan bukan dari PSSI-nya Nurdin. Tetapi, PSSI kepengurusan baru yang tidak diketuai oleh Nurdin, juga bukan oleh orang dari kubu Nurdin.
Yah, LPI memang sangat percaya diri. Terlalu yakin memang, bahwa kubu Nurdin akan ambrol dan berganti dengan kubu yang mendukung LPI. Dan entah dengan tenaga sihir apa, keyakinan LPI, kian mendekati realitas.
Ok, sihir LPI terbukti ampuh. Dan anggaplah kompetisi LPI terus bergulir. Tentu saja dengan menyandang legalitas dari PSSI dan FIFA dan pemainnya bebas keluar masuk timnas Indonesia. Persoalannya sekarang, mampukah LPI mempersembahkan prestasi bagi Negara Indonesia. Waktu yang akan menjawabnya.
Kita semua tentu paham, perjalanan kompetisi dan pembinaan tidak bisa disandarkan pada sulap atau sihir. Nurdin pernah melakukan jurus sihir dalam Piala AFF 2010. Berkat sihir Nurdin, ada Irfan Bachdim dan El Loco di timnas. Dengan cukup aneh, Filipina meminta 2 laga digelar di Stadion Gelora Bung Karno. Padahal secara matematis, penyerahan itu sama artinya mempersilakan Okto dkk langsung masuk final. Tetapi, sekali lagi, prestasi tak bisa datang di pagi hari dengan diusung oleh kendaraan sihir. Faktanya, Indonesia kalah karena diganyang Malaysia.
Sama seperti LPI. Selama ini, program LPI hampir selalu terealisasi. Tapi, dengan begitu, bukan berarti LPI telah berprestasi. Kompetisi LPI masih harus diuji oleh waktu. Sebab sepanjang musim kompetisi yang berlarat larat, setumpuk soal selalu inhern di dalamnya.
Nugraha Besoes pernah bilang, awal-awalnya saja suporter LPI sopan, nanti kalau sudah jenuh, mereka juga akan tawuran. (Ah, moga� prediksi Besoes tak terjadi). Bravo Sepakbola Indonesia!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar